Rabu, 08 Oktober 2014

KETIKA JATUH CINTA LAGI DAN TAK LAGI MENCINTAI



Dec 26, '05 8:58 PM
Ketika Jatuh Cinta Lagi dan Tak Lagi Mencintai
@Azimah Rahayu

“Ibu X sudah meninggal beberapa pekan lalu, Nduk!” demikian berita yang saya terima, kemarin saat saya pulang kampung untuk yang kesekian kali.
“Oh, Innalillaahi wa inna ilaihi raji’un. Sakit apa, Bu?” tanya saya berbasa-basi.
”Sakit karena ditinggal pacarnya meninggal, kali.”
Jawaban  sambil lalu itu tak lagi saya timpali dengan basa-basi, namun penuh keterkejutan. Bagaimana mungkin? Setahu saya Ibu X adalah seorang pegawai baik-baik dengan kedudukan lumayan di sebuah instansi dan sudah berkeluarga. Bahkan anak-anaknya telah beranjak dewasa. Ketika hal itu saya konfirmasikan kepada si pembawa berita, jawaban yang ada malah lebih mengejutkan: orang dewasa dan telah menikah yang pacaran lagi dengan orang lain di kampung kami bukan cuma satu. Banyak! Bahkan diketahui oleh masyarakat umum, tanpa sembunyi-sembunyi. Duh! Pulang kampung memang selalu menyisakan pelajaran dan kisah berhikmah bagi saya.

Dulu saya mengira, seorang yang telah menikah tak akan pernah jatuh cinta lagi, karena dia telah menemukan belahan jiwanya. Hingga sering saya ucapkan saat bercanda dengan teman-teman: Saya ingin segera menikah biar tak usah terlibat dalam permasalahan yang itu-itu saja: jatuh cinta melulu. Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak. Cinta itu, muncul dan tumbuh tak kenal waktu, tak kenal usia. Cinta adalah sebentuk rasa yang menjadi hak setiap manusia, remaja, dewasa atau bahkan para lanjut usia. Cinta adalah sebuah emosi jiwa yang dapat datang dan pergi kapan saja, pada para lajang maupun yang tak lagi membujang. Cinta bisa menghinggapi siapa saja terhadap siapa saja yang lain, karena alasan apa saja, sebagaimana cinta juga dapat menghilang dari satu hati terhadap hati yang lain, termasuk terhadap diri pasangan resmi; suami ataupun istri.

Dan kita kini melihat, kasus jatuh cinta lagi pada orang lain maupun tidak mencintai lagi suami/istri, begitu banyak menyebabkan perselingkuhan dan perceraian di sekeliling kita. Bahkan seakan-akan telah menjadi fenomena. Apa yang terjadi di kalangan selebritis menjadi contoh terbanyak yang kita lihat dan dengar hampir tiap hari saat ini. Bahkan bisa jadi, salah satu dari kita mungkin mengalaminya. Sungguh betapa memiriskan dan memedihkan.

Mestikah seperti itu? Begitu berulang kali hati saya bertanya. Mestikah setiap cinta yang hadir untuk orang lain di kemudian hari diikuti dan dipenuhi hingga seseorang terperosok dalam perselingkuhan, sedang yang bersangkutan telah terikat dalam sebuah pernikahan? Sebagaimana pertanyaan lain yang tak pula lekang dari benak saya: haruskah pula suami istri yang tak lagi saling cinta berakhir dalam perceraian?

Betapa ingin saya membagi kepada semua manusia, sungguh telah pernah ada teladan indah dari masa sahabat dan tabi’in tentang kedua hal ini. Teladan indah yang tercatat dalam sejarah dari seorang kakek dan cucunya. Dua Umar yang mulia, Khalifah Ummat Islam di jamannya. Yang pertama tercatat sebagai penggal kebijakan Umar bin Khaththab, sang Khalifah perkasa. Suatu hari, seorang sahabat mengadu, bahwa ia tak lagi mencintai istrinya, dan ingin menceraikannya. Maka keluarlah kata-kata bijaksana dari Umar: “Jika cinta tak lagi ada, tak cukupkah tanggung jawab sebagai  pengikatnya?” Duh, kalimat itu begitu dalam. Telak. Komitmen terhadap qaulan syadiidan (perkataan yang berat) yang pernah terucap saat akad nikah. Tanggungjawab atas mitsaqan ghalidza (perjanjian besar) yang telah diakadkan.

Sedang Umar kedua adalah Umar bin Abdul Aziz, sang cucu yang disebut sebagai salah satu khalifah ummat islam terbaik pasca khulafa’urrasyidin. Tersebutlah, Umar bin Abdul Aziz mencintai seorang gadis yang juga mencintainya. Semestinya, pada ketika itu, tak ada halangan bagi Umar untuk menikahi si gadis. Namun sayang, saat Umar belum menjadi khalifah, istri tercinta tidak mengijinkannya. Maka Umar pun menghormati sang istri. Ketika telah menjadi khalifah, sang istri berubah pikiran dan malah dengan lapang memberikan usul agar Umar menikahi gadis itu. Namun tidak, Umar tidak melakukannya. Ia, yang berkomitmen mengabdikan sisa hidupnya bagi Allah dan  ummat yang dipimpinnya, memilih untuk tidak mengikuti gelora hatinya. Ia malah menikahkan gadis yang dicintainya dengan pemuda lain, dan tidak pernah mengusiknya sama sekali.
Apakah Umar tidak mencintai gadis itu lagi? Bukan, bukan itu. Tertulis indah dalam sejarah, dialog antara Umar dengan sang gadis.

“Apakah engkau tak lagi mencintaiku, Umar?” tanya sang gadis.
“Aku sangat mencintaimu, bahkan cinta itu kini jauh lebih dalam.” Jawab Umar penuh kesungguhan. Namun hanya berhenti sampai di situ. Tak lebih. Cinta itu tetap mengalun, tanpa harus menerjang pagar yang digariskan Allah dan RasulNya pun tak perlu menyakiti  hati seseorang.

            Ah! Jatuh cinta lagi, memang manusiawi. Sebagaimana tak lagi mencintai juga manusiawi. Namun sesuatu yang manusiawi itu tak berarti lantas mendapatkan pembenaran untuk diikuti, pun juga tak bijak diharamkan keberadaannya. Teladan dari kedua Umar barangkali menjadi sebuah jalan untuk tetap dipertengahan: indah, tenang, damai dan insyaAllah diridhoi. (@Azi, 14Nov2005)

===================

‘Umar bin abdul ‘aziz, tiada sedetikpun ada waktu baginya untuk melupakan bahwa ia memegang tampuk amanah tertinggi ditangan, pundak dan seluruh dimensi kehidupannya. Membuat aktifitasnya hanya bekerja, bekerja dan bekerja demi ridho Allah. Mensejahterakan rakyat, menjamin bahwa tidak ada satupun rakyat yang tidak bisa tidur dimalam hari karena kelaparan. Menjaga izzah agama Islam, sampai tak ada satupun panji Islam yang terhinakan. Seluruh harta, jiwa, dan ruh disatukan dengan optimal oleh ‘Umar sampai menncapai batas kenormalan. Hal ini beliau lakukan dengan penuh ketundukkan kepada Allah dalam kezuhudan dan kesadaran psikologis, bahwa ia adalah seorang khalifah.

Dalam masa puncak amanah dan kesibukannya itulah, beliau pernah meminta izin kepada sang istri, Fatimah, untuk meminang seorang gadis yang dicintainya sebagai istri. Meskipun istri seorang khalifah, yang sudah hampir pasti memenuhi segala prasyarat sebagai seorang muslimah idaman, namun Fatimah tetaplah seorang wanita. Atas nama cinta dan kecemburuan, ia menolak permintaan sang suami. Umar begitu mencintai gadis itu, pun demikian juga, cintanya teramat besar kepada sang istri. Dua cinta inilah yang membuat ‘Umar mengurungkan niatnya.

Dikemudian hari, saat lelah mencapai puncak nikmatnya. Nikmat sehat dan kondisi fisik yang sudah jauh menurun karena tiada henti dicurahkan untuk mengurus rakyatnya. Sang istri datang, memberinya “hadiah”, ya gadis yang dulu sangat dicintainya. Inilah saat terindah bagi ‘Umar, sekaligus mengharu-biru. Kenangan romantikanya dulu kini kembali membakar seluruh jiwanya. Namun cinta itu kini hadir dalam bentuk yang berbeda. Romantisme energi yang hadir kala itu membuatnya memilih.
‘Umar menolak hadiah dari isterinya dan bahkan menikahkan gadis itu dengan pemuda yang lain!

Sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya sendu, “Umar, dulu engkau pernah sangat mencintaiku, tapi kemanakah cinta itu sekarang?”

‘Umar bergetar haru kemudian menjawab, “Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!”

Tidak ada komentar: