Dec 26, '05 8:58 PM
Ketika Jatuh Cinta Lagi dan Tak Lagi Mencintai
@Azimah Rahayu
“Ibu X sudah meninggal beberapa pekan lalu, Nduk!”
demikian berita yang saya terima, kemarin saat saya pulang kampung untuk yang
kesekian kali.
“Oh, Innalillaahi wa inna ilaihi raji’un. Sakit apa, Bu?”
tanya saya berbasa-basi.
”Sakit karena ditinggal pacarnya meninggal, kali.”
Jawaban sambil
lalu itu tak lagi saya timpali dengan basa-basi, namun penuh keterkejutan.
Bagaimana mungkin? Setahu saya Ibu X adalah seorang pegawai baik-baik dengan
kedudukan lumayan di sebuah instansi dan sudah berkeluarga. Bahkan anak-anaknya
telah beranjak dewasa. Ketika hal itu saya konfirmasikan kepada si pembawa
berita, jawaban yang ada malah lebih mengejutkan: orang dewasa dan telah
menikah yang pacaran lagi dengan orang lain di kampung kami bukan cuma satu.
Banyak! Bahkan diketahui oleh masyarakat umum, tanpa sembunyi-sembunyi. Duh!
Pulang kampung memang selalu menyisakan pelajaran dan kisah berhikmah bagi
saya.
Dulu saya mengira, seorang yang telah menikah tak akan
pernah jatuh cinta lagi, karena dia telah menemukan belahan jiwanya. Hingga
sering saya ucapkan saat bercanda dengan teman-teman: Saya ingin segera menikah
biar tak usah terlibat dalam permasalahan yang itu-itu saja: jatuh cinta
melulu. Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak. Cinta itu, muncul dan tumbuh
tak kenal waktu, tak kenal usia. Cinta adalah sebentuk rasa yang menjadi
hak setiap manusia, remaja, dewasa atau bahkan para lanjut usia. Cinta adalah
sebuah emosi jiwa yang dapat datang dan pergi kapan saja, pada para lajang
maupun yang tak lagi membujang. Cinta bisa menghinggapi siapa saja terhadap
siapa saja yang lain, karena alasan apa saja, sebagaimana cinta juga dapat
menghilang dari satu hati terhadap hati yang lain, termasuk terhadap diri
pasangan resmi; suami ataupun istri.
Dan kita kini melihat, kasus jatuh cinta lagi pada orang
lain maupun tidak mencintai lagi suami/istri, begitu banyak menyebabkan
perselingkuhan dan perceraian di sekeliling kita. Bahkan seakan-akan telah
menjadi fenomena. Apa yang terjadi di kalangan selebritis menjadi contoh
terbanyak yang kita lihat dan dengar hampir tiap hari saat ini. Bahkan bisa
jadi, salah satu dari kita mungkin mengalaminya. Sungguh betapa memiriskan dan
memedihkan.
Mestikah seperti itu? Begitu berulang kali hati saya
bertanya. Mestikah setiap cinta yang hadir untuk orang lain di kemudian hari
diikuti dan dipenuhi hingga seseorang terperosok dalam perselingkuhan, sedang
yang bersangkutan telah terikat dalam sebuah pernikahan? Sebagaimana pertanyaan
lain yang tak pula lekang dari benak saya: haruskah pula suami istri yang tak
lagi saling cinta berakhir dalam perceraian?
Betapa ingin saya membagi kepada semua manusia, sungguh
telah pernah ada teladan indah dari masa sahabat dan tabi’in tentang kedua hal
ini. Teladan indah yang tercatat dalam sejarah dari seorang kakek dan cucunya.
Dua Umar yang mulia, Khalifah Ummat Islam di jamannya. Yang pertama tercatat
sebagai penggal kebijakan Umar bin Khaththab, sang Khalifah perkasa. Suatu
hari, seorang sahabat mengadu, bahwa ia tak lagi mencintai istrinya, dan ingin
menceraikannya. Maka keluarlah kata-kata bijaksana dari Umar: “Jika cinta tak
lagi ada, tak cukupkah tanggung jawab sebagai
pengikatnya?” Duh, kalimat itu begitu dalam. Telak. Komitmen terhadap
qaulan syadiidan (perkataan yang berat) yang pernah terucap saat akad nikah.
Tanggungjawab atas mitsaqan ghalidza (perjanjian besar) yang telah diakadkan.
Sedang Umar kedua adalah Umar bin Abdul Aziz, sang cucu
yang disebut sebagai salah satu khalifah ummat islam terbaik pasca
khulafa’urrasyidin. Tersebutlah, Umar bin Abdul Aziz mencintai seorang gadis
yang juga mencintainya. Semestinya, pada ketika itu, tak ada halangan bagi Umar
untuk menikahi si gadis. Namun sayang, saat Umar belum menjadi khalifah, istri
tercinta tidak mengijinkannya. Maka Umar pun menghormati sang istri. Ketika
telah menjadi khalifah, sang istri berubah pikiran dan malah dengan lapang
memberikan usul agar Umar menikahi gadis itu. Namun tidak, Umar tidak
melakukannya. Ia, yang berkomitmen mengabdikan sisa hidupnya bagi Allah
dan ummat yang dipimpinnya, memilih
untuk tidak mengikuti gelora hatinya. Ia malah menikahkan gadis yang dicintainya
dengan pemuda lain, dan tidak pernah mengusiknya sama sekali.
Apakah Umar tidak mencintai gadis itu lagi? Bukan, bukan
itu. Tertulis indah dalam sejarah, dialog antara Umar dengan sang gadis.
“Apakah engkau tak lagi mencintaiku, Umar?” tanya sang
gadis.
“Aku sangat mencintaimu, bahkan cinta itu kini jauh lebih
dalam.” Jawab Umar penuh kesungguhan. Namun hanya berhenti sampai di situ. Tak
lebih. Cinta itu tetap mengalun, tanpa harus menerjang pagar yang digariskan
Allah dan RasulNya pun tak perlu menyakiti
hati seseorang.
Ah! Jatuh cinta lagi, memang manusiawi.
Sebagaimana tak lagi mencintai juga manusiawi. Namun sesuatu yang manusiawi itu
tak berarti lantas mendapatkan pembenaran untuk diikuti, pun juga tak bijak
diharamkan keberadaannya. Teladan dari kedua Umar barangkali menjadi sebuah
jalan untuk tetap dipertengahan: indah, tenang, damai dan insyaAllah diridhoi.
(@Azi, 14Nov2005)
===================
‘Umar bin abdul ‘aziz, tiada sedetikpun ada waktu baginya
untuk melupakan bahwa ia memegang tampuk amanah tertinggi ditangan, pundak dan
seluruh dimensi kehidupannya. Membuat aktifitasnya hanya bekerja, bekerja dan
bekerja demi ridho Allah. Mensejahterakan rakyat, menjamin bahwa tidak ada
satupun rakyat yang tidak bisa tidur dimalam hari karena kelaparan. Menjaga
izzah agama Islam, sampai tak ada satupun panji Islam yang terhinakan. Seluruh
harta, jiwa, dan ruh disatukan dengan optimal oleh ‘Umar sampai menncapai batas
kenormalan. Hal ini beliau lakukan dengan penuh ketundukkan kepada Allah dalam
kezuhudan dan kesadaran psikologis, bahwa ia adalah seorang khalifah.
Dalam masa puncak amanah dan kesibukannya itulah, beliau
pernah meminta izin kepada sang istri, Fatimah, untuk meminang seorang gadis
yang dicintainya sebagai istri. Meskipun istri seorang khalifah, yang sudah hampir
pasti memenuhi segala prasyarat sebagai seorang muslimah idaman, namun Fatimah
tetaplah seorang wanita. Atas nama cinta dan kecemburuan, ia menolak permintaan
sang suami. Umar begitu mencintai gadis itu, pun demikian juga, cintanya
teramat besar kepada sang istri. Dua cinta inilah yang membuat ‘Umar
mengurungkan niatnya.
Dikemudian hari, saat lelah mencapai puncak nikmatnya.
Nikmat sehat dan kondisi fisik yang sudah jauh menurun karena tiada henti
dicurahkan untuk mengurus rakyatnya. Sang istri datang, memberinya “hadiah”, ya
gadis yang dulu sangat dicintainya. Inilah saat terindah bagi ‘Umar, sekaligus
mengharu-biru. Kenangan romantikanya dulu kini kembali membakar seluruh
jiwanya. Namun cinta itu kini hadir dalam bentuk yang berbeda. Romantisme energi
yang hadir kala itu membuatnya memilih.
‘Umar menolak hadiah dari isterinya dan bahkan menikahkan
gadis itu dengan pemuda yang lain!
Sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya
sendu, “Umar, dulu engkau pernah sangat mencintaiku, tapi kemanakah cinta itu
sekarang?”
‘Umar bergetar haru kemudian menjawab, “Cinta itu masih
tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar