Kategori
: Aqidah dan Keimanan
Kamis, 15
Juni 2006 @ 02:19:44
Apakah Bunda Theresa yang sepanjang usia nya
dibaktikan untuk umat miskin India harus masuk neraka ? Apakah Paus Paulus II
yang pernah menjamu calon pembunuhnya dengan baik hingga si calon pembunuhpun
membatalkan rencana pembunuhan tersebut juga tak pantas masuk surga ? Apakah
Mahatma Gandi yang secara lembut, sabar dan selalu menggunakan jalan damai
untuk membela kemerdekaan rakyat India juga harus masuk neraka ? Bagaimana pula
dengan sebagian dari milyaran umat manusia non Islam yang baik hati, apakah
mereka harus masuk neraka dibanding sebagian dari milyaran umat Islam tapi
buruk perilakunya ?
Apakah Akhlak Menentukan Seseorang Masuk Surga
atau Tidak ?
Ada satu jawaban yang singkat, jelas dan tegas
untuk pertanyaan tersebut yaitu, “kalau memang akhlak dijadikan patokan oleh
Tuhan untuk menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga, maka agama tidak
diperlukan lagi di muka bumi ini”
Kalau memang akhlak kriteria utama menentukan
masuk surga atau tidaknya seseorang, maka untuk apa lagi agama, karena tanpa
agama saja orang bisa berbuat baik. Di negeri atheis seperti di Rusia, China,
atau di negeri sekuler seperti Eropa dan Amerika, ditemukan banyak orang yang
tak beragama tapi memiliki akhlak yang luar biasa baiknya. Tidak usah
jauh-jauh, pasti kita sering menemukan diantara teman atau tetangga kita
akhlaknya sangat baik, ia mengaku punya agama tapi tak pernah sholat atau ke
gereja, tapi nyatanya akhlaknya lebih baik dari umat Islam yang rajin
beribadah.
Sifat baik adalah fitrah yang diberikan Allah
sejak kita didalam kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah kecenderungan
manusia untuk berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas diberi Allah
kecenderungan untuk bersifat buas, mereka akan tetap buas walaupun manusia
berusaha menjinakkannya. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri yang membuat
seorang manusia menjadi jahat dan berperilaku buruk.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus)
semuanya. Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka
tersesat dari agama mereka” (HR Muslim).
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk
memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah : “Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS, Al-Balad 90 : 10). “Sesungguhnya Kami
telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir.” (QS, Al-Insaan 76 : 3).
Kemudian setan berusaha mengaburkan jalan yang
benar sehingga jalan yang baik oleh manusia dikira sesat, dan jalan yang sesat
dikira benar. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah 2 : 216) :
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.”
Namun tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk
menyatakan bahwa akhlak yang baik tidak penting, atau menjadi muslim yang
berperilaku buruk lebih baik daripada non-Islam yang baik hati. Tujuan tulian
ini agar kita menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut dari manusia sekedar akhlak
yang baik, tapi juga ada hal lain yang lebih utama dibanding akhlak.
Bahkan Akhlak Seorang Muslim Yang Baik Sekalipun
Tidak Cukup Untuk Membuatnya Masuk Surga.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW
bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai
thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu
?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya
mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya
tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat,
ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu
menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah
aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?"
Nabi SAW sangat terharu mendengarnya, sambil memeluk anak muda itu ia berkata :
"Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti,
tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan oleh
pengorbanan dan kebaikanmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran
bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan
orang tua kita terhadap anaknya. Kita merasa sudah cukup, tapi dalam
perhitungan Allah nilai jasa kedua orang tua pada anaknya jauh lebih besar
nilainya dari yang dibayangkan manusia. Pasti ada sesuatu perbuatan lain yang
harus kita lakukan untuk memperbanyak balas budi kita pada kedua orang tua
kita. Diantaranya dengan cara menjadi anak yang sholeh dan selalu mendoakan
kedua orangtua kita.
Untuk membalas budi kedua orang tua saja kita
tidak akan pernah sanggup, apalagi membalas kebaikan Tuhan yang mengkaruniakan
kita fitrah kasih sayang pada kedua orang tua kita, yang mengkaruniakan kita
mata yang mampu melihat, telinga yang mampu mendengar, lidah yang mampu
merasakan kelezatan makanan, yang telah mengkaruniakan kita udara secara
gratis.
Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut
barusan dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW pernah berkata, “Amal soleh
yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat
bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW :
“Amal soleh sayapun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya :
“Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?” . Nabi SAW kembali menjawab : “Kita
dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat
kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi
untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan
surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari
puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga.
Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah
sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah
sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh
kita, tetapi karena rahmat Allah.
Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas ?
Yaitu bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk
mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga.
Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka,
hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena
itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.
Pertanyaan berikutnya (dikaitkan dengan judul
tulisan ini) adalah apa syaratnya agar doa kita untuk memohon rahmat dan
memohon ampunan Allah bisa diterima ?
Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak
semua orang diberi ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan
syarat utamanya adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia
harus memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan
benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat utama
agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.
Apakah Benar Anggapan Bahwa Sifat Allah yang
Maha Pengasih dan Penyayang Akan Membuat Allah Tidak Mungkin (Tega) Menghukum
Orang Yang Baik Hati ?
Di akhirat kelak orang yang tidak beriman kepada
Allah akan membawa amal kebaikannya ke hadapan Allah, tapi kemudian Allah tidak
menerimanya, seperti tersebut dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 23, “Dan
Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan”.
Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada
majikannya, setiap hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian,
menyapu halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja
diluar. Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan
perilaku, Sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada
atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan akan
memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat anak-anak
majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu apa yang diinginkan
sang majikan. Padahal jelas sang majikan sudah menulis tatatertib dan uraian
kerja pembantu rumah tangga, diantaranya disebutkan bahwa kesopanan adalah
syarat terpenting bekerja di rumah majikan tersebut. Bahkan terkadang ia
sombong dan keras hati serta menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang
berintelektual tinggi seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang
pembantu. Iapun kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan
tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.
Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar
doa, ampunan, amal dan ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal
Allah secara baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba
Allah perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah agar
segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah mengenal
Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam semesta ini, bahkan Ia
telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia melalui kitab-kitab suci dan ajaran
nabi-Nya. Dengan mengenal allah secara baik kita akan tahu bahwa Allah
sangatlah penyayang, demikian sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak
kesalahan kita yang dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu
berlebihan kalau keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga
yang luar biasa nikmatnya. Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga
akan memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman
dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.
Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal
manusia adalah sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh
akal manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita memahami
Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah satunya
memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu dibersihkan terlebih
dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir, dsbnya) agar fitrah manusia
bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat Allah dengan baik.
Tanpa Mengenal Sifat Allah Dengan Baik Maka
Sia-sialah Akhlak Baik, Amal dan Ibadah Kita
Melalui pengenalan yang baik terhadap Allah
melalui cara-cara yang diatur dalam Qur’an dan hadits, akan kita temukan bahwa
Allah mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya
diterima.
Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan
Islam dengan agama lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim,
sedang ibadah (syariah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak
adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan diri
seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak pantas disebut
seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam, iapun belum sempurna
untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang bernama Muslim. Demikian pula,
tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan yang bernama Muslim ini belum utuh dan
akan mudah rusak oleh hujan dan panas. Muslim yang baik wajib memiliki ketiga
syarat ini (aqidah, ibadah dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun,
dan harus sempurna. Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila
ibadah dan akhlak buruk maka ia ‘mungkin’ masih berpeluang masuk surga setelah
di’cuci’ dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang di’cuci’
dulu, apalagi kekal, di neraka. Mumpung kita masih hidup di dunia ini, semoga
kita diberi ilmu oleh Allah SWT mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya
kita tidak menggampangkan diri untuk menganggap bahwa di’cuci’ di neraka adalah
bukan masalah besar. Tidak untuk sedetikpun ! Naudzu billah min dzalik.
Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas
dari keraguan. Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Aqidah Islam merupakan
syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal
kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami
sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang
lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling
dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk
atau benda ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS,
Az-Zumar: 65).
Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat
didalamnya. Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih
mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri. Aqidah Islamiyah
adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala
pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada
Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari akhir, taqdir
baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang
Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada
apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh
berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang
telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’
Salafush Shalih.
Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga
pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah,
setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain. Didalam
Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan
para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah
yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap
umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Tanpa aqidah yang benar
seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama
kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup
kebahagiaan. Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan
dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : tulisan oleh Abdillah M.U & diedit
sedikit oleh Penjaga Kebun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar