Minggu, 12 April 2015
KEUTAMAAN SILATURAHIM (BAGIAN 2)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (أخرجه البخاري)
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu 'anhu berkata: Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturahim (hubungan antar kerabat)."
(HR. Bukhari)
Bismillāhirrahmānirrahīm
Alhamdulillāh wash shalātu was salāmu 'alā Rasūlillāh.
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada pertemuan yang lalu telah kita bahas bahwasanya rahīm (kerabat) yang wajib kita silaturrahīm bukan dari keluarga istri atau saudara sepersusuan, akan tapi dari hubungan nasab (darah).
Apakah seluruh orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita wajib kita sambung silaturrahīm?
Maka dalam hal ini ada 3 pendapat dikalangan para ulama :
① Pendapat Pertama
Yang wajib untuk disambung silaturrahīm adalah kerabat-kerabat yang memiliki hubungan mahram dengan kita, baik mahram dari sisi laki-laki maupun perempuan.
Contohnya :
· orangtua; ayah merupakan mahram bagi putrinya dan ibu merupakan mahram dari putranya.
· saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung, seayah dan seibu/seibu/seayah.
· kakek dan nenek
· cucu
· al-a'mām (saudara-saudara laki-laki dari bapak)
· al-ammāt (saudara-saudara perempuan dari bapak)
· akhwāl (saudara-saudara laki-laki dari bapak)
· khālāt (bibi-bibi, saudari-saudari perempuan dari ibu)
Oleh karenanya kita perlu mengenal dan perlu pembahasan khusus tentang apa itu mahram.
Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Hanafiyyah dan Malikiyyah, dan mereka berdalil dengan suatu hadits :
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu; Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
"Tidak boleh seseorang (tatkala berpoligami kemudian dia) menggabungkan antara seorang wanita dengan tantenya (saudari dari bapaknya) atau dia menikah sekaligus dengan bibi wanita tersebut (saudari dari ibunya)."
Hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam karena hal ini bisa memutuskan silaturrahīm antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya.
Kita tahu, hubungan antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya adalah hubungan mahram.
Dari sini, mereka (para ulama) mengatakan:
"Yang wajib disambung silaturahim adalah yang memiliki hubungan mahram."
Kelaziman dari pendapat ini adalah berarti kalau sepupu tidak wajib kita sambung silaturrahīm karena dia bukan mahram.
Ini pendapat yang agak kuat, karena bagaimana kita (laki-laki) menyambung silaturrahīm dengan sepupu perempuan semantara dia bukan mahram, bagaimana kita (laki-laki) mau mengobrol dengan dia sementara bukan mahram.
② Pendapat Kedua
Yang dimaksud rahīm yang wajib kita sambung yaitu ahli waris (yaitu ahli warisnya kita)
Ini pendapat sebagian fuqaha seperti pendapat:
√ Al-Qadhi'iyyāt dari madzhab Maliki
√ An-Nawawi dari madzhab Syafi’iyyah
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ: أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala ditanya oleh seseorang:
"Wahai Rasūlullāh, Siapakah yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?"
Maka jawaban Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
"Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang paling dekat denganmu yang paling dekat denganmu."
(HR. Muslim)
Mereka (para ulama) memahami:
√ kalimat "ibu dan ayah" merupakan termasuk ahli waris kita
√ kalimat "engkau yang paling dekat" adalah yang paling dekat dari sisi ahli waris.
Namun pendapat ini terbantahkan (kurang kuat) karena 2 sebab :
Sebab pertama:
Karena maksud nabi dengan "yang lebih dekat dengan engkau" tidak hanya difahami hanya ahli waris saja, akan tetapi secara umum, yaitu yang paling dekat kekerabatan/nasab dengan engkau.
Nabi tidak menyebutkan "yang paling dekat" adalah ahli waris maka tidak boleh kita khususkan sesuatu yang umum.
Sebab kedua:
Pendapat ini melazimkan bahwasanya kita tidak perlu menyambung silaturrahīm dengan bibi atau tante, terutama dengan bibi saudara ibu
Karena bibi bukan ahli waris kita, padahal dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
الخالة بمنزلة الأم
"Bibi saudari perempuan ibu adalah kedudukannya seperti ibu."
(HR. Bukhari Muslim)
Maka wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahīm dan berbuat baik sebagaimana berbuat baik kepada ibu padahal bibi secara ahli waris bukan ahli waris.
Oleh karena itu pendapat yang ke-2 ini pendapat yang kurang kuat.
③ Pendapat Ketiga
Seluruh kerabat wajib kita sambung silaturrahīm
Tergantung, semakin dekat maka semakin wajib, semakin jauh maka semakin kurang kewajibannya.
Tapi yang wajib disambung silaturrahīm adalah seluruhnya.
Pendapat ini kurang kuat, kelaziman pendapat ini bahwasanya kita harus wajib berhubungan baik (silaturrahīm) dengan seluruh manusia.
Karena kalau kita parhatikan nashab kita semua akan kembali kepada Nabi Adam, kita seluruhnya merupakan keturunan Nabi Adam dan ibunda kita Hawa.
Kalau begitu caranya, maka seluruh nashab wajib kita berbuat baik, jadi kita harus berbuat baik kepada seluruh manusia.
Oleh karenanya, Allāhu a'lam bish shawāb, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama.
Bahwasanya yang wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahīm adalah yang merupakan mahram kita dan yang selainnya hukumnya sunnah.
Yang mahram adalah wajib kita telpon dan berikan kebaikan kepada mereka.
Adapun selain mereka adalah nomer 2 (sunnah) seperti saudara sepersusuan, saudara istri, kerabat-kerabat yang jauh yang bukan mahram.
Allāhu a'lam bishshwāb, ini adalah khilaf para ulama, agar kita tahu jelas, mana yang lebih utama kita sambung silaturrahīm dan mana yang tingkatan kedua (kurang utama).
Jangan sampai kita mendahulukan yang sunnah (kurang utama) dan meninggalkan yang wajib (utama).
Diantara kesalahan yang sering ditanyakan kepada saya adalah:
"Ustadz, apakah wajib bagi kita untuk berbuat baik kepada mertua sebagaimana berbuat baik kepada ibu kandung?"
Jawabannya: Tidak wajib.
Barangsiapa sengaja berbuat baik kepada mertua sama dengan berbuat baik kepada ibunya maka dia telah menyakiti hati ibunya.
Ibunya (yang telah mengandung dan merawatnya saat kecil) akan merasa sedih tatkala dia disamakan dengan mertuanya.
Mertua tadi bukan termasuk silaturrahīm karena tidak ada hubungan rahim.
Tetapi kita (suami) berbuat baik kepada mertua karena dia dekat dengan istri kita.
Kita (suami) membantu istri berbuat baik kepada ibunya karena istri kita akan mendapat pahala silaturrahīm.
Tetapi dari sisi kita (suami), kewajiban kepada mertua tidak sama dengan kewajiban kepada ibu kandung, sangat berbeda dan sangat jauh. Mertua bukan silaturrahīm, adapun ibu adalah silaturrahīm yang nomor 1.
Ini perlu di camkan bagi pasangan suami istri agar istri tidak menuntut harus sama antara ibunya dengan ibu suaminya, ini tidak boleh.
Suami yang baik adalah tetap berusaha berbuat baik kepada orangtua istrinya dengan membantu istrinya agar bisa bersilaturrahīm dengan ayah dan ibunya.
Wallāhu a'lam bishshawāb.
Assalāmu'alaykum wa rahmatullāh wa barakātuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar